Kamis, 23 Juni 2011

Takut Berkomitmen?

Menurut informasi sensus di tahun 2007, jumlah pasangan belum menikah yang hidup bersama di Amerika mencapai 10% dan itu berarti sekitar 6,4 juta orang. Adapun informasi dari sensus terakhir, para analis memperkirakan angka-angka ini akan terus melambung tinggi, meningkat sekitar satu juta setiap tahun.
Kenaikan tiba-tiba dari segi jumlah ini berkaitan erat dengan fakta yang ada bahwa para pasangan menjadi lebih jujur akan situasi kehidupan mereka dan tidak lagi melihat ‘hidup bersama’ sebagai suatu tindakan yang tak bermoral. Dan bukan suatu hal yang menyakitkan lagi bagi mereka ketika biro sensus baru-baru ini menanyakan secara terang-terangan apakah teman tinggalnya adalah ‘pacar’ atau ‘pasangan resmi’. Namun, dengan semua kisah ‘hidup bersama’ dan hanya hidup dalam khayalan pernikahan – bukankah itu berarti mereka sedang menderita akan ketakutan dari sebuah komitmen? Lalu, kenapa tidak menikah saja?
Lakukan sedikit penggalian informasi dan Anda akan menemukan bahwa hidup bersama sebelum menikah sebenarnya merupakan resep untuk terjadinya bencana dalam pernikahan. Secara keseluruhan, berbagai penelitian yang dilakukan memprediksi bahwa sekitar 8 dari setiap 10 pasangan yang hidup bersama sebelum menikah akan mengakhiri pernikahan dengan perceraian sebelum memasuki satu dekade. Anehnya, banyak orang yang percaya bahwa dengan hidup bersama, mengatur rumah dan berlatih untuk menjalani kehidupan pernikahan akan membuat pernikahan menjadi lebih layak – yang justru pada kenyataannya terjadi sebaliknya.
Ada juga jutaan pasangan yang telah berpacaran dalam jangka waktu lama (lebih dari 5 tahun) namun tidak hidup bersama dan belum mengikat simpul kebahagiaan pernikahan. Bagi mereka yang berada di dalam hubungan seperti ini, status yang ada di antara mereka berdua bisa membuat frustrasi. Pada satu titik Anda harus memahami bahwa ada orang yang cocok untuk menjadi sahabat dan bukan pasangan. Dan jika pernikahan adalah sesuatu yang Anda inginkan, namun pasangan Anda hanya menginginkan uang, hal itu hanya akan membuat seseorang mempertanyakan motif yang ada di antara hubungan yang Anda jalani. Bagaimanapun juga, apa untungnya memberi harapan pada seseorang bahwa ‘suatu hari’ mereka akan menjadi pasangan suami istri – jika sangat jelas bahwa ‘suatu hari’ itu tidak akan pernah tiba.
Hidup bersama seringkali terlihat sebagai ‘komitmen dengan pintu keluar darurat’. Meskipun Anda berkomitmen dengan segenap hati akan kata tersebut, Anda tidak akan dipaksa untuk mengalami perceraian yang mengerikan atau perpisahan yang harus memperebutkan hak asuh. Bagi banyak orang, ketakutan untuk berkomitmen berasal dari hal-hal seperti ini. Mungkin mereka telah melihat bagaimana orangtua mereka sendiri harus mengalami perceraian yang buruk, atau menyaksikan secara langsung bagaimana teman-teman mereka bertempur dalam perebutan hak asuh yang penuh dengan kebencian. Menjadi saksi mata akan berakhirnya sebuah pernikahan, meskipun hanya sebagai pengamat – dapat meninggalkan kesan yang sangat mendalam agi seseorang. Pemikiran pun muncul jika Anda tidak pernah menikah, maka Anda tidak akan pernah berhadapan dengan perceraian. Jika ini adalah apa yang Anda maupun pasangan Anda rasakan, mungkin bukan komitmen yang Anda takutkan namun perceraian yang yang membuat Anda terus menghindar untuk berkomitmen.
Selama bertahun-tahun, ketakutan akan komitmen seringkali melanda para pria. Namun hari-hari ini, biro sensus melaporkan bahwa wanita lajang yang belum pernah menikah merupakan kelompok populasi yang paling cepat bertumbuh akan ketakutan kepada komitmen. Dalam bukunya, Kiss and Run, Elina Furman mencoba mengeksplorasi mengapa hari-hari ini wanita juga begitu takut untuk menikah. Wanita masa kini dapat hidup sepenuhnya tanpa dukungan suami – bahkan jika mereka telah memiliki anak, dan kurang ingin menikah. Selain itu, pasangan-pasangan saat ini dalam kisaran rata-rata usia menikah merupakan produk dari orangtua yang tampaknya mengubah jalan ketika menghadapi kemungkinan perceraian. Daripada tinggal dalam pernikahan yang tidak bahagia dan memiliki kebebasan yang lebih untuk tidak memikirkan perceraian yang merupakan kegagalan sosial maupun moral, mereka yang berada di usia 20-an awal sangat mungkin merupakan produk dari keluarga yang bercerai. Hidup menghadapi perceraian dalam perspektif anak-anak dapat meninggalkan kesan buruknya pernikahan yang bertahan lama di dalam jiwa mereka, membuat mereka kuatir akan ide pernikahan itu sendiri. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak ingin mendapatkankeuntungan dari cinta dan dukungan dengan memiliki pasangan dalam hidup mereka – mereka hanya tidak tertarik untuk membuat keputusan menikah.
Lebih jauh, statistik perceraian saat ini sama sekali tidak membantu mereka yang takut berkomitmen untuk merasa kehangatan dan melarikan diri dari ide pernikahan. Kenyataan yang ada bahwa sekitar setengah dari pernikahan yang ada berakhir dengan perceraian. Perceraian tidak hanya mahal, tapi juga dapat benar-benar menghancurkan banyak aspek dari kehidupan seseorang. Hidup bersama, berpacaran dalam jangka waktu panjang – tidak memerlukan kerugian sebesar itu.
Pada akhirnya, yang terpenting adalah apa yang Anda rasakan. Mungkin Anda adalah seseorang yang harus menghadapi telapak tangan berkeringat karena cemas pada gagasan menjadi suami atau istri, atau mungkin itu adalah pasangan Anda. Pada satu titik Anda harus memutuskan sendiri apakah memutuskan untuk menikah justru akan menjadi pemecah dalam hubungan Anda. Tidak satupun dari kita yang mulai berpacaran dengan seseorang dengan pernikahan sebagai bagian dari rencana untuk mensukseskan hubungan. Dan sedihnya, saat kebanyakan orang menyadari mereka sedang jatuh cinta, sudah terlambat untuk menyadari seberapa besar keinginan pasangan Anda untuk berkomitmen.
Dalam percintaan, sebagaimana segala hal yang melibatkan dua orang – seringkali sulit untuk berada di halaman yang persis sama ketika membicarakan pernikahan dan komitmen. Terkadang, lebih mudah bagi kita untuk bersenang-senang dengan perasaan yang Anda miliki daripada harus bersikeras memaksa seseorang berkomitmen lebih jauh. Tidak ada yang mengatakan bahwa dengan memiliki cincin di jari Anda dan berbagi nama akhir akan membuat Anda lebih bahagia dari keadaan Anda saat ini.
Namun yang pasti, janji Tuhan bagi kehidupan pernikahan sangatlah jelas. Komitmen tidak hanya antara Anda dan pasangan, tapi juga berkolaborasi dengan komitmen kepada Tuhan sebagai hubungan segitiga tak terputus antara suami, istri dan Tuhan. Komitmen tidak tergantung pada apa yang Anda rasakan, tidak tergantung pada kondisi yang Anda alami, namun komitmen adalah janji setia Anda di hadapan Tuhan untuk sehidup semati dengan pasangan Anda apapun yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar